Rumah Ibadah

Data Rumah Ibadah se-Provinsi Bali ditampilkan pada tabel dibawah. Untuk pencarian berdasarkan Kabupaten atau Jenis Rumah Ibadah dapat dilakukan dengan mengisikan kata kunci pencarian di kolom "search" di kanan atas Tabel Data Rumah Ibadah

Data Rumah Ibadah se-Provinsi Bali

Wihara

VIHARA DHARMA RATNA KLUNGKUNG

Nama Penanggungjawab Edwin Adiputra
Telpon Penanggungjawab 081277868688
Jadwal Ibadah Senin dan Kamis
Alamat Jl. Ngurah Rai I Semarapura, Semarapura Kaja, Klungkung, Klungkung

Pada kesempatan ini pula dengan hormat kami mohon ijin menyampaikan kepada Bapak sekilas sejarah Vihara Dharma Ratna Klungkung. Sesuatu yang besar selalu berawal dari yang kecil. Sebuah kisah tentu ada asal mula atau awalnya, begitu pula dengan semangat umat Buddha di Klungkung dan kini akhirnya memiliki sebuah Vihara megah yang di beri nama Dharma Ratna.

Bagaimana awal dari perjalanan panjang itu? Pada awalnya warga Tionghoa di Klungkung hanya mengenal agama dari tradisi yang telah di wariskan oleh leluhur. Berkat kegigihan para tokoh dan dan sesepuh untuk mensosialisasi bagaimana sesungguhnya ajaran agama Buddha, akhirnya tahun 1985 dibentuk Wadah yang dikenal dengan nama Walubi. Awalnya tentu saja masih dengan kondisi dan sarana yang serba kurang. Saat itu pula didirikan Cetya Saccadhamma, yang merupakan kediaman Pandita Dharma Surya Chandra. Penguncaraan paritta sekaligus pemberkahan dan pemberian nama Mahacetiya yang dilakukan oleh alm. YM Giriakkhito Mahathera. Tempat puja bakti kemudian pindah, berkat kebaikan hati bapak Liem Ming Jao, dipinjamkan sebuah rumah di Jl. Arjuna untuk kemudian dijadikan Mahacetiya sejak 13 september 1989 hingga 1993. Tempat ini selain dipakai sebagai kebaktian, juga perpustakaan sekaligus sekretariat Walubi dan Gemabudhi Klungkung.

Tahun 2001, atas kebaikn Bapak Ketut Dana, dipinjamkan sebuah ruko di Jl. Gajah Mada untuk dijadikan Mahacetiya sebagai tempat puja bakti umum, yang diberi nama Mahacetiya Mula Dhamma dan diberkati oleh YM. Dhammasuto Thera. Pada tahun yang sama, seorang ibu menyumbangkan satu altar. Dari sinilah perkembangan agama Buddha di Klungkung makin pesat.

Pada tahun 1986, para tokoh dari sesepuh yang bernaung di bawah Yayasan Suka Duka Tulus Hati Klungkung (yang didirikan sejak 1975), sepakat membeli sebidang tanah seluas 3.520 meter per segi. Dari tanah seluas itu, 550 meter per segi merupakan sumbangan dari Walubi Klungkung saat itu disetujui rencana untuk mendirikan tempat ibadah yakni Vihara.

Di tahun yang sama, saat pelantikan DPC Gemabudhi Klungkung bersamaan dengan pembukaan arisan Walubi yang pertama. YM Girirakkhito Mahathera berkenaan hadir untuk meninjau keberadaan Bhante untuk menerima nama Vihara yang direncanakan akan dibangun. Ketika itu Bhikkhu Giri meminta waktu untuk memikirkan, hingga 2 minggu kemudian disampaikan sebuah nama, Vihara Dharma Ratna.

Pada tahun 1992 melalui panitia pembangunan yang sudah dibentuk dan dengan dukungan Walubi Klungkung diajukan permohonan ijin pembangunan Vihara kepada Gubernur Bali melalui Bupati Klungkung. Proses ini sendiri tidaklah mudah dan memakan waktu cukup panjang. Dengan bantuan Bikkhu Dhammasuto dan umat di Denpasar yang sempat bertemu Gubernur Bali, maka pada 1999 ijin yang dimaksud didapat. Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan 15 Desember 2002, yang diberkahi 9 Bikkhu Sangha yang dipimpin oleh Sanghanayaka Sangha Theravada Indonesia, YM Dhammasubho Thera. Pembangunan pun berlanjut, hingga pada tanggal 13 Juli 2006 diresmikan penggunaan Bhaktisala dengan objek pemujaan Kwan Sing Tee Koen. Dan tepat saat Purnama dibulan Asadha 2551, tanggal 28 Juli 2007 dilangsungkan Abhiseka Buddharupam sekaligus peresmian Vihara Dharma Ratna.

Untuk dapat mewujudkan dan meningkatkan kualitas kehidupan beragama dan kualitas kerukunan umat beragama Buddha di Vihara Dharma Ratna Klungkung, kami mengalami kendala, selain pembangunan mental sumber daya manusia juga kendala sarana-prasarana dan pembangunan fisik. Sampai saat ini kami sangat memerlukan penataan tata ruang (palemahan) Vihara untuk menjaga kesucian dan kesakralan Rumah Ibadah, mengingat selain dipergunakan untuk pelayanan dan aktivitas intern umat Buddha yang semakin meningkat (seperti Taichi, Whusu, Barong Liong, Senam AWS3, Yoga, Dharma Gita, Basket, dll), juga sering dipinjam-pakai oleh instansi-instansi pemerintah maupun masyarakat sekitar. Dalam hal pembangunan fisik, Pagar dan gapura sebagai batas-batas suci (sima) atau kosmologi mandala yang membatasi wilayah luar (jaba), tengah (madya), dan uttama (Dharmasala dan Bhaktisala), belum dapat terbangun sesuai harapan.